Dead Canary
Dead Canary – Debu batubara menempel di pori-pori. Udara pengap, lembab, dan menusuk paru-paru. Bukan aroma mawar yang menyambut, melainkan bau mesiu samar bercampur keringat. Dulu, kakek selalu bilang, “Kalau burung kenari sudah diam, itu pertanda buruk.” Aku tidak pernah benar-benar mengerti, sampai aku sendiri menginjakkan kaki di sana, di mulut tambang yang konon menyimpan Dead Canary dan segudang cerita tentang emas yang berujung nestapa.
Aku ingat betul malam itu, sebelum akhirnya nekat menerima tawaran Om Budi buat ikut survei lokasi tambang tua di daerah Jawa Timur. Semuanya berawal dari obrolan santai di warung kopi. Om Budi, dengan mata berbinar, cerita tentang legenda “Dead Canary,” kisah tentang tambang emas yang ditinggalkan karena kutukan. Kutukan? Awalnya aku skeptis, tapi Om Budi, yang memang dikenal sebagai “Indiana Jones”-nya Indonesia, meyakinkanku dengan peta usang dan beberapa catatan geologis yang bikin alis berkerut. Katanya, tambang itu menyimpan potensi emas yang luar biasa. Bukan sekadar bongkahan, tapi urat emas murni.
“RTP-nya tinggi, Den! Percaya deh, ini bukan sekadar mitos!” serunya, sambil menyesap kopi tubruknya. Aku cuma bisa ketawa. RTP? Istilah anak muda yang biasa dipakai buat main game online, kok malah dibawa-bawa ke tambang? Tapi entah kenapa, aku jadi penasaran. Toh, selama ini hidupku lurus-lurus aja. Mungkin inilah saatnya sedikit berpetualang.
Perjalanan menuju lokasi tambang bukan main beratnya. Jalanan terjal, bebatuan besar di mana-mana, bikin mobil jeep kami tersendat-sendat. Aku sempat mikir, “Ini beneran mau nyari emas, apa mau cari mati?” Tapi pemandangan alam yang masih asri sedikit mengobati rasa lelah. Hutan lebat, sungai jernih mengalir di antara bebatuan, udara segar yang belum tercemar polusi. Sayang, semua keindahan itu sirna begitu kami tiba di mulut tambang.
Suasana di sana mencekam. Mulut tambang menganga seperti mulut gua raksasa, gelap dan misterius. Bau tanah lembab bercampur bau karat besi menusuk hidung. Om Budi menyuruh kami mengenakan helm dan lampu kepala. “Ingat, patuhi semua instruksi! Jangan coba-coba masuk terlalu dalam sendirian!” pesannya, dengan nada serius. Aku menelan ludah. Entah kenapa, bulu kudukku tiba-tiba meremang.
Kami masuk ke dalam tambang dengan hati-hati. Lorong-lorong sempit dan gelap. Dinding-dindingnya basah dan licin. Suara tetesan air bergema di seluruh penjuru. Aku terus berusaha menenangkan diri, tapi bayangan “Dead Canary” terus menghantuiku. Konon, para penambang zaman dulu selalu membawa burung kenari ke dalam tambang. Jika burung itu tiba-tiba mati, berarti kadar gas beracun di dalam tambang sudah terlalu tinggi dan mereka harus segera keluar.
Di salah satu lorong, kami menemukan sisa-sisa peralatan tambang yang sudah berkarat. Gerobak dorong yang hancur, sekop yang patah, dan palu yang berlumuran karat. Om Budi memeriksa beberapa sampel batuan dengan alat geologinya. “Hmm, menarik. Kandungan emasnya lumayan tinggi,” gumamnya. Aku dan beberapa orang lainnya saling berpandangan. Rasa takut perlahan bercampur dengan harapan.
Tiba-tiba, salah satu anggota tim berteriak histeris. “Ada sesuatu di sana!” Dia menunjuk ke sebuah lorong yang lebih sempit dan gelap. Aku memberanikan diri mendekat. Dengan lampu kepala, aku menyinari lorong tersebut. Dan apa yang kulihat membuatku terkejut. Di ujung lorong, tergeletak kerangka manusia. Bukan cuma satu, tapi banyak! Mereka tergeletak begitu saja, seperti ditinggalkan dalam keadaan panik.
Om Budi memeriksa salah satu kerangka. “Sepertinya mereka meninggal karena keracunan gas,” ujarnya. “Mungkin ini yang disebut ‘Dead Canary’ itu.” Aku merinding. Jadi, legenda itu benar. Tambang ini memang menyimpan kutukan.
Setelah penemuan kerangka, suasana di dalam tambang semakin mencekam. Kami memutuskan untuk tidak melanjutkan eksplorasi lebih dalam. Rasa takut mengalahkan rasa penasaran. Kami keluar dari tambang dengan langkah cepat, seolah dikejar hantu.
Di luar tambang, kami berkumpul dan berdiskusi. Beberapa orang ingin segera meninggalkan lokasi tersebut. Tapi Om Budi bersikeras untuk melanjutkan survei. “Kita sudah sampai sejauh ini. Sayang kalau kita menyerah begitu saja,” ujarnya.
Aku sendiri merasa bimbang. Di satu sisi, aku takut dengan kutukan tambang. Di sisi lain, aku penasaran dengan potensi emas yang dikandungnya. Aku ingat kata-kata Om Budi tentang RTP yang tinggi. Mungkin, ini saatnya menguji keberuntungan.
Keesokan harinya, kami melanjutkan survei dengan lebih hati-hati. Kami membawa peralatan pendeteksi gas dan perlengkapan keselamatan yang lebih lengkap. Kami juga sepakat untuk tidak masuk terlalu dalam ke dalam tambang.
Selama beberapa hari, kami terus melakukan survei di sekitar tambang. Kami menemukan beberapa lokasi yang mengandung emas dengan kadar yang cukup tinggi. Tapi kami juga menemukan banyak hal aneh dan misterius. Suara-suara aneh di malam hari, bayangan-bayangan yang bergerak di kegelapan, dan perasaan aneh yang selalu menghantui. Saya rasa ada salah satu alat keselamatan yang kurang berfungsi, atau mungkin aku yang salah melihat.
Suatu malam, aku terbangun karena suara gaduh di luar tenda. Aku keluar dan melihat beberapa anggota tim sedang berdebat dengan Om Budi. “Kita harus pergi dari sini! Tempat ini tidak aman!” teriak salah satu anggota tim. Om Budi berusaha menenangkan mereka. “Kita sudah dekat dengan penemuan besar. Jangan menyerah sekarang!”
Akhirnya, sebagian besar anggota tim memutuskan untuk meninggalkan lokasi tersebut. Hanya aku dan beberapa orang yang masih setia menemani Om Budi. Kami tahu, ini adalah perjudian besar. Tapi kami percaya, potensi emas di tambang ini terlalu besar untuk dilewatkan.
Beberapa hari kemudian, kami menemukan urat emas murni di salah satu lokasi yang kami survei. Emasnya berkilauan di bawah sinar matahari. Kami semua bersorak gembira. Penantian panjang kami akhirnya terbayar.
Kami segera melaporkan penemuan ini kepada pihak yang berwenang. Pemerintah daerah mengirimkan tim ahli untuk melakukan penelitian lebih lanjut. Dan hasilnya, tambang “Dead Canary” ternyata memang menyimpan potensi emas yang luar biasa.
Setelah penemuan ini, tambang “Dead Canary” kembali dibuka untuk umum. Pemerintah daerah membangun infrastruktur yang lebih baik dan meningkatkan sistem keamanan. Tambang ini menjadi salah satu sumber pendapatan utama bagi daerah tersebut.
Aku sendiri merasa bersyukur bisa menjadi bagian dari sejarah ini. Aku belajar banyak tentang keberanian, kesabaran, dan pentingnya menghargai alam. Aku juga belajar, bahwa legenda tidak selalu bohong. Kadang, legenda menyimpan kebenaran yang lebih besar dari yang kita bayangkan. Dan yang terpenting, aku belajar bahwa “Dead Canary” bukan hanya tentang kutukan, tapi juga tentang harapan.
Omong-omong soal RTP tadi, ternyata bukan cuma istilah buat game online. Di tambang ini, RTP-nya juga tinggi. Real Treasure Potential, kata Om Budi sambil tertawa. Aku cuma bisa geleng-geleng kepala. Tapi ya sudahlah, yang penting sekarang aku bisa menikmati hasilnya. Lumayanlah, buat modal nikah nanti. Hehehe…
Bagaimana menurut kalian? Berani coba peruntungan di tambang “Dead Canary”? Atau lebih memilih main game online saja?